Daftar Blog Saya

Senin, 13 Februari 2012

ENERGI GEOTHERMAL












ENERGI GEOTHERMAL

[Bloomberg/Iklim Karbon]: Di tengah hiruk-pikuk soal moratorium, sebetulnya selalu ada beberapa perkembangan yang menarik dan positif soal Indonesia dan perubahan iklim. Kendati bagi sebagian orang ini bukanlah berita baru, salah satu kabar gembira adalah investasi serius yang dilakukan perusahaan energi raksasa dunia, Chevron, dalam mengakses energi panas bumi (geothermal) Indonesia melalui instalasinya di area Gunung Salak.


Instalasi geothermal ini sebenarnya telah berusia cukup lama. Kisahnya dimulai ketika sebuah perusahaan bernama Unocal, Inc. memperoleh lisensi pertama bagi perusahaan asing untuk beroperasi dalam bidang panas bumi pada tahun 1982. Menariknya, salah satu aktor penting dalam peristiwa ini adalah Lolo Soetoro, ayah angkat Presiden AS Barack Obama, yang ketika itu bekerja untuk Unocal. Selanjutnya, Unocal memulai pembangunan instalasi di Taman Nasional Gunung Salak sampai akhirnya diresmikan pada tahun 1992. Krisis moneter Asia pada paruh kedua dekade 1990-an membuahkan hasil tersendiri bagi Unocal. Kala itu, PLN membatalkan kesepakatan transaksi pembelian energi listrik dari sejumlah perusahaan seperti PT. Paiton Energy, yang tak mampu memenuhi kewajibannya lantaran anjloknya nilai rupiah.

Unocal kemudian diakuisisi oleh Chevron pada tahun 2005. Kini, bersama dengan sebuah instalasi lainnya di kawasan Darajat, instalasi Gunung Salak berjasa membangkitkan energi listrik bagi 4 juta rumah tangga di Indonesia. Semuanya dengan sumber energi yang bersih dan terbarukan, -yakni panas bumi.

Instalasi Gunung Salak bekerja dengan prinsip sederhana. Alih-alih menggunakan bahan bakar fosil konvensional yang kotor, mesin-mesin generator yang ada beroperasi dengan memanfaatkan uap dari air panas yang tersimpan di bawah permukaan bumi. Air panas dengan suhu mencapai 315 derajat Celsius ini dipompa dari kedalaman sekitar 3.200 meter di bawah permukaan bumi melalui sistem saluran pipa sepanjang 54 kilometer, -dan dimanfaatkan uapnya untuk menggerakkan turbin yang membangkitkan energi listrik.

Tentu saja, kisah sukses Chevron di Gunung Salak lantas menginspirasi sejumlah pihak lain. Seiring dengan ikrar Presiden SBY untuk mereduksi emisi sebesar 26% dan janji untuk memberikan subsidi bagi bidang energi bersih, perusahaan multinasional raksasa lainnya seperti General Electric (GE) dan Tata Corp. kini mulai serius menggarap peluang di bidang panas bumi Indonesia yang dapat mencapai nilai investasi sebesar lebih dari 30 milyar dolar AS.

Ini sejalan dengan opini yang dilontarkan oleh Al Gore pada bulan Januari lalu bahwa Indonesia berpotensi untuk menjadi “negara adidaya di bidang panas bumi”. Indonesia berencana untuk menghasilkan energi listrik dari panas bumi sebesar 9.5 gigawatt pada tahun 2025. Jumlah tersebut adalah sama dengan sepertiga dari kebutuhan energi Indonesia, dan lebih dari tiga kali lipat utilisasi energi panas bumi Amerika Serikat. Seperti diketahui bersama, Indonesia terletak di gugusan gunung berapi yang dikenal dengan nama “Ring of Fire”, sehingga memposisikan negara kita seperti kawasan Timur Tengah bagi minyak bumi, -yakni sebagai pemilik cadangan energi panas bumi terbesar di dunia dengan jumlah 40% dari total cadangan yang ada.

Perusahaan besar milik Jepang, Sumitomo, juga mulai menapaki jejak Chevron dengan membangun instalasi berkapasitas 110 Megawatt di daerah Ulubelu, Jawa Barat. Kabarnya, instalasi mereka akan siap beroperasi pada tahun 2012. Ini tentunya menjadi kabar yang menggembirakan dalam usaha untuk menggeser ketergantungan akan bahan bakar fosil kearah energi bersih.

Di sisi lain, pengembangan investasi panas bumi di Indonesia juga masih sangat sulit. Beberapa kebijakan turut membuat pelik masalah, -seperti misalnya keputusan pemerintah untuk menaikkan harga jual yang harus dibayar PLN sampai sebesar 9.7 % bagi listrik yang dihasilkan dari panas bumi. Mengapa? Karena jika dibenturkan dengan keharusan memilih, PLN biasanya cenderung untuk memilih energi dari batubara yang lebih murah. Ini akan membuat mereka mudah menjual listrik kepada konsumen pada tingkat harga yang dimandatkan oleh pemerintah.

Kuncinya adalah pada kesediaan dan kemampuan negara untuk membayar subsidi bagi PLN sehingga dapat membeli listrik hasil panas bumi. Jika negara tidak mampu untuk melakukan hal ini, pertanyaan selanjutnya adalah: bisakah kenaikan harga tersebut diterjemahkan menjadi harga jual yang lebih tinggi kepada konsumen langsung? Jawabannya tidaklah mudah. Menarik bagi kita untuk menunggu perkembangan situasi seputar hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar